Sabtu, 16 November 2013

Sebuah perpanjangan tangan untuk memperkenalkan Daerah kami Massenrempulu, Enrekang, Sulawesi Selatan.

Massenrempulu; Bukan Bugis atau Makassar
17 November 2013 pukul 09:09


Di Sulawesi Selatan, dikenal beberapa suku utama yakni suku Bugis, Makassar, dan Toraja. Adalah sebuah paradox nasional ketika disebutkan suku yang massif jumlahnya ini terpapang di buku buku pelajaran dan buku sejarah. Identitas mengenai suku bukan berarti kita berada di tataran primordialisme akan tetapi, kaitan historis dan sejarah akan menjadi identitas apalagi dengan bahasa, budaya dan adat yang berbeda pula tidak dapat disamakan antara satu suku dengan yang lainnya. Hal tersebutlah yang terjadi dewasa ini, dalam ranah klasifikasi suku di Sulawesi Selatan ternyata masih ada identitas sendiri yang tengah diperjuangkan.Adalah sebuah wilayah di sebelah utara Sulawesi Selatan yang mencakupi beberapa kota dan desa desa kecil yakni Enrekang, sebahagian Palopo, Masamba, dan beberapa di wilayah Pinrang. Namun, mayoritas suku Massenrempulu berada di wilayah Enrekang, yang memang menjadi asal usul suku Massenrempulu.  Entitas inilah yag kemudian disebut sebagai “Massenrempulu”, sesuatu yang masih jarang diketahui oleh banyak orang melainkan orang orang disekitar wilayah tersebut.

Banyak perbedaan antara Massenrempulu dan Bugis atau Makassar. Aktualisasinya, ketika menuliskan asal suku Bugis adalah kesatuan dari semua cakupan wilayah yang terdapat di wilayah Sulawesi Selatan. Baik dari segi bahasa, logat, dialek, maupun akar budaya, Massenrempulu sangat berbeda dengan suku bugis atau Makassar. Wilayahnya yang agraris dan umumnya pegunungan sebagai pembeda kultur dengan bugis yang pesisir dan saudagar. Dari sisi bahasa juga sangat berbeda, terdapat banyak perbedaan yang kadang substansial tetapi, ada beberapa kata yang baik pengucapan maupun maknanya hampir sama. Masih belum banyak penelitian mengenai sejarah ataupun penelitian historis nenek moyang Massenrempulu . ada yang mengatakan bahwa orang orang dari Jepang mendiami wilayah tersebut dan kemudian berkembang menjadi Massenrempulu.

I. Budaya dan Adat Istiadat



Belum ada karya ilmiah tertulis yang merampung semua budaya dan adat istiadat baik yang telah kuno maupun yang telah mengalami asimilasi dari suku ini. Akan tetapi, berdasarkan penulusuran penulis terdapat beberapa gembaran besar yang dapat diceritakan yakni;

- Alat Musik
Beberapa media nasional pernah menayangkan alat musik tradisional di Enrekang yakni suling bambu atau musik bambu . Tidak seperti suling bambu kebanyakan, pertunjukan seni ini dimainkan secara bersama sama atau dimainkan banyak orang  dan biasanya dipertunjukkan di acara acara hajatan. Bambu untuk membuat alat-alat musik ini pun adalah bambu khas yang hanya segelinitir orang saja yang mengetahuinya, maka tidaklah heran jika suara yang dikeluarkannya sangat nyaring dan jernih.

- Makanan
Wilayah Enrekang, yang juga dikenal sebagai basis agroindustri Sulawesi-Selatan yang juga merupakan tanah Massenrempulu, memiliki banyak sekali makanan yang selain enak namun juga berdaya gizi yang sangat tinggi seperti;
Dangke, yang disebut sebagai Keju Enrekang, terbuat dari susu kerbau yang difermentasi dan resep ini telah turun temurun. Protein yang dikandungnya sangat tinggi hampir 5 kali dibanding keju biasa. • Nasu Cemba, di masak bersama dengan daging sapi atau kambing bersama daun yang dinamakan daun cemba yang berguna unutk menetralisir lemak yang ada.


 Camme Buraq, terbuat dari batang pohon pisang yang dicampur dengan ayam. Biasanya dicampur dengan kepala, ceker dan leher ayam. Makanan ini sangat unik, karena tidak ada satu daerahpun yang menajdikan batang pohon pisang sebagai bahan makanan. Batang pisang yang digunkanpun adalah bagian dalam yang renyah. Cara pengolahannya pun sangat sederhana.
Deppa Tetekan, kue tradisional yang digoreng dengan sisi empuk dan renyah diluar tetapi lembek didalam dan dilapisi dengan biji wijen.
Dodol ketan, seperti dodol kebanyakan hanya saja, dibuat dari ketan hitam dan baunya juga sangat wangi. Dibungkus dengan daun jagung
Baro’bo, seperti bubur manado, hanya saja, dengan sayuran yang lebih bervariasi dan terkadang ditambah dengan udang, ayam dan ikan.
Camme tu’tuk, adalah yang paling terkenal dan banyak dimasak oleh banyak orang. Dari asal katanya yakni sayur yang ditumbuk. Terbuat dari daun ubi yang ditumbuk halus dan parutan kelapa yang dimasak.

- Kepercayaan
Tidak seperti adat budaya dari daerah lain, tidak terdapat kepercayaan khusus yang berlaku di masyarakatnya. Peninggalan Animisme dan dinamisme hampir tidak pernah ditemukan. Ritual ritual panen raya juga tidak ada. Mungkin ini dipengaruhi oleh nilai nilai agama yang hampir semua penduduk memeluknya yakni Islam. Juga karena pengaruh Kahar Mudzakkar dulu saat pernah berjuang ingin menegakkan Syariat Islam

- Nilai nilai moral
Nilai nilai moral yang dimiliki terdapat dalam nama entitas mereka yakni bersatu teguh, arti dari Massenrempulu. Nilai yang lainnya adalah masikapulung yakni persatuan. Dalam artian, dimanapun mereka berada, meskipun tidak saling mengenal akan tetapi, jika bertemu dengan sesama sukunya (masenrengpulu) maka mereka akan sangat dekat dan akrab. Hal lain yang menjadi ciri khas yakni nilai nilai kekeluargaannya sangat tinggi. Jika terdapat hajatan maka, semua keluarga besar akan datang dan rata rata satu keluarga terdiri dari lebih ratusan orang, karena mereka sangat menghargai kekerabatan.



- Bahasa
Suku Massenrempulu sampai saat ini belum memiliki bahasa resmi mengingat tiap kecamatan memiliki dialek dan intonasi yang berbeda. Secara umum, di wilayah ini terdapat 3 subetnik yaitu Duri (sub-etnik terbesar yang mendiami wilayah utara Enrekang), Maiwa, dan Enrekang. Dan ini yang membuat bahasanya cukup beragam, sub-etnik Duri menggunakan bahasa Duri yang memiliki banyak persamaan dengan bahasa dari Toraja, Luwu (Palopo) serta sebagian kecil wilayah Sulawesi Barat. Bahasa Maiwa (digunakan warga Kecamatan Maiwa) yang banyak persamaan dengan bahasa Bugis serta bahasa Enrekang yang digunakan penduduk di Enrekang perkotaan, sebagian wilayah Kecamatan Anggeraja yang memiliki kesamaan bahasa dengan beberapa wilayah di Pinrang.  Penggunaannya seperti berbicara dalam bahasa Indonesia seperti biasa, hanya saja, banyak orang yang berkata karena dipengaruhi oleh struktur geografis berupa pegunungan maka ketika berbicara intonasi mereka besar dan kuat. Hal yang menarik adalah bahasa kuno Massenrengpulu yang bahkan generasi asli massenrempulu sekarangpun banyak yangg tidak mengerti artinya. Hanya sesepuh dan beberapa tetua saja yang mengetahui hal itu.



II. KAITAN HISTORIS
Perjalanan kelompok ini juga erat dengan sejarah Indonesia. Saat penjajahan Belanda, wilayah Enrekang yang berupa pegunungan ditembus oleh tentara belanda dan banyak rakyat yang menjadi budak kerja paksa. Penjajahan Jepangpun begitu, penduduk dipaksa untuk menjalani kerja paksa untuk membuat jalanan yang akan menembus kota kota lain. Pada zaman pergerakan, terkhususnya pemberontakan Kahar Muzakkar, Enrekang dan sekitarnya menjadi salah satu basis pemberontak yang bergerilya.

III. KONDISI AKTUAL
Dewasa ini, karena identitas yang ada tidak pernah diperkenalkan secara formal kelompok(suku) Massenrempulu ini mengalami banyak degradasi budaya apalagi dengan anggapan umum yang menyamakan mereka dengan Bugis dan Makassar. Akibatnya, masyarakat yang diaspora tidak mengetahui secara jelas identitas suku mereka. Di antara yang telah tergerus antara lain;  seni musik yang umumnya terbuat dari bambu, selain suling bambu (musik bambu), barutung (musik dari Parombean) dan ronggeng. Permainan musik ini dimainkan oleh anak anak dengan mengentakkan bambu dengan besar yang berbeda tiap anak dan akan mengahsilkan harmonisasi akan tetapi, permainan itu sekarang telah hilang.
Bahasa kuno yang tidak memilki manuskrip sangat rentan dengan- perubahan zaman apalagi, kondisi masyarakat yang mulai modern dan melupakan nilai nilai tradisional.  Nilai keluarga besar yang saling bertalian juga telah banyak yang- putus terutama mereka yang diaspora ke luar daerah atau keluar negeri.

IV. PERGERAKAN PENGAKUAN SUKU
Hal yang menjadi perhatian banyak pemuka pemuka maspul (demikian biasa disingkat) adalah identitas mereka yang hanya informal. Salah satunya Andi Sose yang mengatakan sudah saatnya Massenrempulu menjadi bagian dari suku yang diakui secara legal-formil di Sulawesi Selatan dan juga di Indonesia. Hal yang menjadi kecemasan adalah degradasi diri pada identitas padahal, dengan nilai nilai luhur yang diterapkan oleh para pendahulu mereka sudah selayaknyalah diteruskan dan dilestarikan. Titik terang yang muncul adalah dengan dibentuknya HIKMA (Himpunan Keluarga Massenrengpulu) yang bertugas mendata dan membantu sesama anggota diseluruh Indonesia. HIKMA mendata semua orang orang Massenrengpulu dan mensosilisasiakan gerakan gerakannya antara lain, pendidikan, ekonomi usaha, bantuan kemanusiaan dll. Adalah penting untuk menjadikan komunitas ini sebagai suatu identitas baru supaya sejarah budaya kita di Indonesia menjadi valid. Adalah Ironi jika suatu hari terdapat orang Enrekang yang hendak membuat KTP dan dituliskan di kartu tersebut suku Bugis. Padahal, dari sisi bahasa, budaya, adat istiadat, dan kepercayaan kedua hal tersebut sangatlah berbeda. Implikasi lain berupa jangka panjang yang akan terjadi adalah berkembanganya pariwisata dengan pengenalan potensi potensi daerah selain itu, hal tersebut juga akan memperkaya khazanah pengetahuan kita tentang bagaimana betapa kayanya negara kita dengan budayanya.

V. TAMBAHAN
Enrekang, sebagai daerah utama suku ini, memiliki hal hal yang lumayan unik seperti ada sebuah desa yang terletak di wilayah Baraka dimana, desa Bone-bone dimana penduduknya tidak ada yang merokok begitupun dengan pendatang yang hendak memasuki daerah ini tidak diperkenankan membawa ataupun menyalakan rokok.
Objek wisata yang ada juga sangat beragam mulai dari gua, air terjun, gunung, hamparan sawah, dan sungai yang cocok untuk olahraga arung jeram. Tercatat, Enrekang pada tahun 2003 menjadi peringkat ke 5 daya tarik industri pedesaan di Indonesia. 


Hal unik lainnya seperti, di wilayah pedesaan, yang belum terlalu banyak pendatangnya, rumah rumah jarang yang memilki pagar karena hampir tidak pernah terdapat kasus pencurian dan perampokan dalam bentuk apapun. Penduduknya hidup dengan rasa kepercyaan yang tinggi satu sama lain. Hanya saja, terdapat pendatang dari luar yang memanfaatkan hal ini sehingga mengusik tatanan yang telah ada. Adalah sebuah filsafat kuno dengan bahasa kuno yang artinya sulit untuk dijelaskan. Menceritakan mengenai sumpah seseorang dikatakan meskipun pohon sudah tidak berpucuk dan berdaun seseorang harus teguh dalam pendirian dan kebenarannya dan karena kebesaran seseorang itulah hingga akhir hayatnya ia dimakamkan di tengah dusun agar orang orang selalu mengingatnya. Namun, karena sumpah ini menggunakan bahasa kuno maka banyak bait yang hilang dan arti secara eksplisitnya tidak dapat diketahui secara pasti. Didendangkan oleh orang orang massenrempulu dahulu namun, telah banyak dilupakan yang berbunyi :

Tangken daunmmi to lamba Tangken Collin cendana Na ola dundu Na le tei ceppaga Ceppaganna ri lelua Sappanna ri mendante Simboki mae Naku alako pa mae Pamai di lamun batu Di lamun lan tangnga tondok…

Silahkan dikoreksi
Original created; Mutmainna Syam. Hubungan Internasional. UNIVERSITAS HASANUDDIN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar